Komunikasi Non-Verbal Dalam Kajian Antar Budaya

Rissa's Blogging
4 min readMay 17, 2021

--

Sumber: www.google.com

Komunikasi merupakan suatu hal yang penting dalam kehidupan sehari-hari, baik yang bersifat verbal maupun non-verbal semuanya memiliki makna. Individu akan menggunakan bahasa sebagai alat untuk berkomunikasi dan mempersepsikan dunia, yang terlihat dari komponen semantik, sintaksis, pragmatis, dan fonologi (Hall, 1966). Dari bahasa tersebut kita juga bisa melihat bagaimana budaya seseorang dalam berinteraksi dan di bagian mana dari bahasanya yang sekiranya menjadi ciri khas yang berbeda dan tidak ada di budaya lain. Sehingga semua hal ini bersifat relatif.

Kompetensi komunikasi antar budaya sangat diperlukan untuk menjembatani keterbatasan kita dalam memahami orang lain. Karena juga tidak bisa dipungkiri bahwa jika pesan dari verbal atau non-verbal tersebut tidak tersampaikan dengan baik kepada lawan bicaranya maka dapat menimbulkan kesalahpahaman, persepsi negatif, stereotip, dan sebagainya (Martin & Nakayama, 2018). Komunikasi non-verbal erat kaitannya dengan ekspresi wajah, proxemics/personal space, gestures, kontak mata, paralanguage/vokalik, chronemics/personal time, dan keheningan. Semua ini dapat dilakukan dengan sadar maupun tidak sadar.

Pada dasarnya, dalam menggambarkan suatu realitas, manusia diberkahi dengan kemampuan otak untuk memahami sesuatu dengan cara memetakan kejadian yang berlangsung di masa lalu, masa sekarang, maupun masa depan, diberkahi juga dengan kemampuan otak untuk berbahasa, dan juga otak yang terus berkembang melalui interaksi yang terjadi setiap waktunya (Bruneau, 2012). Kemudian mereka membuat personal space-nya sendiri untuk memberikan batasan-batasan fisik tertentu dalam berinteraksi dan space ini bisa menjadi tanda dari komunikasi non-verbal yang maknanya bisa jadi berbeda antara satu dengan yang lainnya (Hall et al., 1968). Selain itu, biasanya secara otomatis ketika manusia berada dalam situasi terdesak, tidak pasti, tidak dapat dipahami, dan memerlukan waktu untuk berpikir, maka akan menggunakan teknik komunikasi non-verbal hening dan mode hening ini yang bisa jadi dimaknai berbeda oleh budaya lainnya (Nakane, 2007).

Dalam contoh kasus yang terjadi pada penelitian yang dilakukan oleh Umar (2018) mengenai pengungsi Iran di Makassar, terdapat beberapa bentuk komunikasi non-verbal yang tidak biasa mereka temukan di negaranya. Penelitian ini menemukan bahwa selama berada di Makassar, awalnya pengungsi Iran ini cenderung menjaga jarak dan menghindari warga lokal di sana karena tidak paham, tidak terbiasa, dan bahkan tidak nyaman dengan komunikasi non-verbal yang dilakukan oleh orang Indonesia pada umumnya. Misalnya saja ekspresi senyum, tatapan, mengangguk, menyentuh hidung yang dilakukan oleh ibu hamil sambil mengelus perut besarnya, dan juga gesture tangan yang menyatakan makna ‘gila’.

Bagi warga Indonesia, termasuk warga lokal Makassar, ekspresi senyum kepada siapapun umumnya merupakan bentuk keramahan terhadap orang lain. Kemudian tatapan mata secara langsung juga merupakan bentuk kesopanan ketika berbicara dengan seseorang, namun juga bisa di artikan sebagai sesuatu hal yang mencurigakan apabila orang yang menatap tersebut berada dalam jarak yang cukup jauh dan tidak saling kenal satu sama lain. Lalu mengangguk bisa berarti ekspresi yang mengungkapkan “permisi”, “halo”, atau “iya”. Selanjutnya makna dari menyentuh hidung orang lain yang dilakukan oleh ibu hamil sambil mengelus perut besarnya biasanya sebagai tanda pengharapan agar kelak anaknya bisa berwajah cantik dan rupawan seperti orang yang mereka sentuh. Kemudian gesture tangan yang menyimbolkan makna ‘gila’ ini diperuntukkan dalam konteks untuk mengejek maupun bercanda.

Sebaliknya, bagi pengungsi Iran itu sendiri semua bentuk komunikasi non-verbal Indonesia bertolak belakang dengan budayanya. Seperti yang dilansir dari IES (2021), bahwa di Iran jarang sekali orang tersenyum kepada publik yang berbeda lawan jenis, terlebih lagi kepada orang asing karena bisa diartikan sebagai tindakan provokatif. Kemudian tatapan mata secara langsung hanya ditujukan kepada sesama jenis, usia, dan status sebagai bentuk keramahan, sementara harus menurunkan pandangan langsung kepada yang lebih tua sebagai bentuk penghormatan. Selain itu, gesture mengangguk bagi orang Iran lebih kepada penolakan. Lalu gesture menyentuh hidung dan makna ‘gila’ tidak ada sama sekali dalam budaya Iran. Apalagi gesture makna ‘gila’ ini ditunjukkan oleh warga lokal Makassar ketika orang Iran memunguti sampah di jalanan. Hal ini yang cukup membuat orang Iran menjadi keheranan dan membuat mereka mengalami hambatan pada perbedaan latar belakang budaya, hambatan psikologis yang menyebabkan kekhawatiran dan kebingungan karena adanya ketidaksesuaian ekspektasi, dan hambatan persepsi akibat perbedaan makna pesan simbol.

Artinya, ketika pengungsi Iran merasa khawatir, takut, dan timbul rasa ragu terhadap interaksi yang dilakukan oleh orang Indonesia terhadap mereka, reaksi yang diberikan adalah komunikasi non-verbal mode hening yakni dengan menghindari warga lokal Makassar dan berusaha untuk tidak berkomunikasi dengan mereka. Namun, meskipun begitu karena kemauan mereka untuk lebih terbuka untuk mengenal budaya Indonesia yang membuat mereka lama-kelamaan akhirnya terbiasa dengan komunikasi non-verbal Indonesia ini. Personal Space yang ditunjukkan oleh pengungsi Iran dengan cara menjaga jarak fisik dengan orang asing, terutama yang lawan jenis, merupakan salah satu budaya mereka.

Pertanyaan Penelitian:

Bagaimana proses pengungsi Iran dalam menerima budaya komunikasi non-verbal yang dilakukan oleh warga Makassar? Seperti apa negosiasinya?

Daftar Pustaka

  • Bruneau, T. (2012). Chronemics: Time-Binding and the Construction of Personal Time. ETC: A Review of General Semantics, Vol. 69(1), pp.72–92.
  • Hall, E. T. (1966). The Hidden Dimension. Garden City, N.Y: Doubleday.
  • Hall, E., Birdwhistell, R., Bock, B., Bohannan, P., Diebold, A., Durbin, M., . . . Vayda, A. (1968). Proxemics [and Comments and Replies]. Current Anthropology, Vol.9(2/3), pp.83–108.
  • IES. (2021). The Cultural Atlas. Retrieved from: https://culturalatlas.sbs.com.au.
  • Martin, J. N., & Nakayama, T. K. (2018). Intercultural communication in contexts (7th ed). New York: McGraw-Hill.
  • Nakane, I. (2007). Silence in intercultural communication: Perceptions and performance (Vol. 166). John Benjamins Publishing.
  • Umar, N. J. (2018). PENGGUNAAN SIMBOL-SIMBOL KOMUNIKASI NON VERBAL ANTARA PENGUNGSI IRAN DAN WARGA LOKAL DI MAKASSAR. Jurnal Komunikasi KAREBA, Vol.7(2), pp.295–303.

--

--

Rissa's Blogging
Rissa's Blogging

Written by Rissa's Blogging

0 Followers

Travel to my mind and idea :) -- www.linkedin.com/in/rissaamanda

No responses yet